Bekal Seorang Guru

Bekal seorang guru.

1. Taqwa

Kita semua butuh bekal, bukan bertujuan bersaing di dunia. Bekal ini lebih kita butuh untuk menuju alam akhirat.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang pundaknya, lalu berkata, 

“Hiduplah kalian di dunia seakan-akan seperti orang asing, atau seperti seorang pengembara.”

Ibnu ‘Umar lantas berkata, 

“Jika engkau berada di petang hari, janganlah tunggu sampai datang pagi. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah tunggu sampai datang petang. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah pula waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari, no. 6416)

Hadits di atas mengajarkan bahwa dunia ini bukanlah tempat kita menetap dan bukanlah negeri kita sesungguhnya. Dari sini seharusnya setiap mukmin berada pada salah satu dari dua keadaan berikut.

  • Pertama

Hidup seperti orang asing yang tinggal di negeri asing. Yang ia lakukan :

Hatinya tidak bergantung pada dunia. Hatinya bergantung pada kampung sesungguhnya yang nanti ia akan kembali, yaitu negeri akhirat. Mukim di dunia hanya untuk menyiapkan bekal menuju ke kampung akhirat. Tidak pernah bersaing yaitu antara orang asing tadi dan penduduk asli (penggila dunia). Tidak pernah gelisah ketika ada yang mendapatkan dunia. Itulah orang asing.

Al-Hasan Al-Bashri berkata,

“Seorang mukmin di dunia seperti orang asing. Tidak pernah gelisah terhadap orang yang mendapatkan dunia, tidak pernah saling berlomba dengan penggila dunia. Penggila dunia memiliki urusan sendiri, orang asing yang ingin kembali ke kampung akhirat punya urusan sendiri.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 379)

‘Atho’ As-Salimi berkata dalam doanya,

“Ya Allah, rahmatilah keasinganku di dunia, selamatkanlah dari kesedihan di kuburku, rahmatilah aku ketika aku berdiri di hadapan-Mu kelak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 379)

Orang yang tergila dengan dunia, lupa akan akhirat, gambarannya seperti yang disampaikan oleh Yahya bin Mu’adz Ar-Razi,

“Dunia adalah khamarnya setan. Siapa yang mabuk, barulah tersadarkan diri ketika kematian (yang gelap) itu datang. Nantinya ia akan menyesal bersama dengan orang-orang yang merugi.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 381)

  • Kedua:

Hidup seperti seorang musafir atau pengembara yang tidak punya niatan untuk menetap sama sekali. Orang seperti hanya ingin terus menelusuri jalan hingga sampai pada ujung akhirnya, yaitu kematian. Yang ia lakukan :

Terus mencari bekal untuk safarnya supaya bisa sampai di ujung perjalanan. Tidak punya keinginan untuk memperbanyak kesenangan dunia karena ingin sibuk terus menambah bekal. Cobalah ambil pelajaran dari perkataan Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau pernah mengatakan pada seseorang,

“Berapa umur yang telah kau lewati?”

Ia menjawab,

“Enam puluh tahun.”

Fudhail menyatakan,

“Selama 60 tahun ini engkau sedang berjalan menuju Rabbmu dan sebentar lagi engkau akan sampai.”

Orang itu menjawab,

“Segala sesuatu milik Allah dan akan kembali pada Allah.”

Fudhail balik bertanya,

“Apa engkau tahu arti kalimat yang engkau ucapkan tersebut?”

Fudhail lantas melanjutkan, harusnya engkau katakan pula,

“Sesungguhnya aku adalah hamba di sisi Allah dan akan kembali pada-Nya. Siapa saja yang mengetahui Allah itu memiliki hamba dan akan kembali pada-Nya, maka tentu ia tahu bahwa hidupnya akan berakhir. Kalau tahu hidupnya akan berakhir, tentu ia tahu bahwa ia akan ditanya. Kalau ia tahu akan ditanya, maka ia tentu akan mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang ada. ”

Orang itu bertanya pada Fudhail,

“Adakah alasan yang bisa dibuat-buat untuk melepaskan diri?”

Fudhail menjawab,

“Itu mudah.”

Ia balik bertanya,

“Apa itu?”

Fudhail menjawab,

“Hendaklah beramal baik di sisa umur yang ada, maka akan diampuni kesalah-kesalahanmu yang terdahulu. Karena jika engkau masih berbuat jelek di sisa umurmu, engkau akan disiksa karena kesalahanmu yang dulu dan sisa umurmu yang ada.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 383)

2. Introspeksi /muhasabah diri.

 Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Hashr: 18)

Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)

Yakni hitung-hitunglah diri kalian sebelum kalian dimintai pertanggung jawaban, dan perhatikanlah apa yang kamu tabung buat diri kalian berupa amal-amal saleh untuk bekal hari kalian dikembalikan, yaitu hari dihadapkan kalian kepada Tuhan kalian.

dan bertakwalah kepada Allah.

mengukuhkan kalimat perintah takwa yang sebelumnya.

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Artinya, ketahuilah oleh kalian bahwa Allah mengetahui semua amal perbuatan dan keadaan kalian, tiada sesuatu pun dari kalian yang tersembunyi bagi-Nya dan tiada sesuatu pun (baik yang besar maupun yang kecil) dari urusan kalian yang luput dari pengetahuan-Nya. 

Faedah Ayat, antara lain:

  1. Perintah untuk senantiasa bertakwa kepada Allah.
  2. Cakupan makna takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan larangan terbesar adalah berbuat syirik (menyekutukan Allah dengan sesuatu). Adapun perintah Allah yang paling agung adalah perintah bertauhid (mengesakan Allah dalam semua ibadah).
  3. Anjuran untuk memperbanyak amal saleh¹. Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Lihatlah apa yang akan terjadi di hari kiamat kelak dari amalan-amalan yang diperbuat manusia. Apakah amalan saleh yang menghiasi dirinya ataukah amalan kejelekan yang berakibat jelek di akhirat?”.
  4. Dianjurkan introspeksi diri (lihat amal sendiri). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Haasibu anfusakum qobla an tuhaasabu (artinya: hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab). Lihatlah amalan saleh apa yang telah kalian persiapkan sebagai bekal untuk hari akhirat dan menghadap Allah Rabb kalian.(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 235).

¹ Disebut amalan saleh adalah jika memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi syarat ini, suatu amalan tidaklah diterima di sisi Allah.

Contoh amal saleh: shalat, zakat, puasa, haji, umrah, berbakti kepada orang tua, sedekah, dzikir, thalabul ilmi, dst.

Pemateri : Saefuddin Halwani, S.Pd.I